Pemasok solusi sistem penyimpanan energi global dengan pengalaman manufaktur 13 tahun. Cina
Dalam lanskap teknologi AI yang berkembang pesat saat ini, kenyataan yang memprihatinkan mulai muncul: daya yang dibutuhkan untuk satu permintaan ChatGPT hampir 10 kali lipat daya yang dibutuhkan untuk pencarian Google.
Kesenjangan yang signifikan ini tidak hanya menyoroti perbedaan mendasar dalam konsumsi energi antara teknologi AI dan layanan internet tradisional tetapi juga menandakan perubahan mendalam dalam pola konsumsi energi global.
Baru-baru ini, firma konsultan ternama Gartner mengeluarkan peringatan dalam laporan terbarunya, yang memperkirakan bahwa pada tahun 2027, 40% pusat data AI yang ada akan menghadapi kesulitan operasional karena pasokan listrik yang tidak mencukupi. Prakiraan ini menggarisbawahi meningkatnya ketegangan antara pengembangan AI dan pasokan energi.
Pada saat yang sama, penelitian dari bank investasi internasional Goldman Sachs memberikan prospek yang serupa: pada tahun 2030, permintaan listrik pusat data global akan melonjak hingga 160%. Hal ini telah memicu kekhawatiran yang meluas mengenai pasokan energi , pembangunan infrastruktur, dan dampak lingkungan.
Grafik | Prakiraan Gartner: Konsumsi Energi Tambahan dari Server AI Baru di Pusat Data AI Setiap Tahun (Sumber: Gartner)
Baru-baru ini, raksasa teknologi seperti Google, Microsoft, Amazon, dan Meta telah aktif berinvestasi dalam fasilitas tenaga nuklir. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran mereka bahwa permintaan energi yang sangat besar dari pusat data AI di masa mendatang mungkin tidak dapat terpenuhi.
Secara historis, permintaan energi pusat data telah menunjukkan stabilitas yang luar biasa. Dari tahun 2015 hingga 2019, meskipun beban kerja pusat data hampir dua kali lipat, konsumsi listrik tahunannya tetap relatif stabil di sekitar 200 terawatt-jam.
Stabilitas ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan efisiensi energi yang berkelanjutan di pusat data. Namun, situasi ini mengalami perubahan mendasar setelah tahun 2020.
Analis Gartner Bob Johnson mencatat, "Pembangunan pusat data skala besar generasi mendatang menciptakan permintaan listrik yang sangat besar yang akan melampaui kemampuan penyedia utilitas untuk meningkatkan pasokan. Khususnya dalam bidang pemrosesan dan pelatihan model besar, sumber daya komputasi dan konsumsi energi yang dibutuhkan telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya."
Saat ini, pusat data global menyumbang 1-2% dari total konsumsi listrik, tetapi diproyeksikan bahwa pada tahun 2030, porsi ini akan naik menjadi 3-4%, dengan pertumbuhan ini terutama menonjol di negara-negara maju.
Secara khusus, di Amerika Serikat, diprediksi bahwa pada tahun 2030, konsumsi listrik pusat data akan meningkat dari 3% saat ini menjadi 8%, yang mendorong permintaan listrik AS tumbuh pada tingkat tercepat dalam hampir 25 tahun.
Grafik | Goldman Sachs Memprediksi Permintaan Energi untuk Pusat Data (Sumber: Goldman Sachs)
Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan utilitas AS perlu berinvestasi sekitar $50 miliar dalam kapasitas pembangkit listrik baru khusus untuk pusat data.
Selain itu, pada tahun 2030, peningkatan permintaan listrik dari pusat data saja akan mengakibatkan peningkatan harian sekitar 3,3 miliar kaki kubik permintaan gas alam, yang akan membutuhkan pembangunan infrastruktur pipa baru.
Goldman Sachs mencatat bahwa situasi di Eropa bahkan lebih kompleks. Sebagai pusat data global utama, 15% pusat data berlokasi di Eropa. Pada tahun 2030, permintaan energi pusat data ini akan setara dengan total konsumsi listrik gabungan Portugal, Yunani, dan Belanda.
Mengingat Eropa memiliki sistem jaringan listrik tertua di dunia, kawasan ini perlu berinvestasi hampir €800 miliar selama dekade berikutnya untuk meningkatkan sistem transmisi dan distribusinya, serta sekitar €850 miliar untuk pengembangan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin darat, dan tenaga angin lepas pantai untuk memenuhi kebutuhan energi pusat data baru.
Grafik | Rata-rata Usia Jaringan Listrik di Berbagai Wilayah dan Tiongkok (Sumber: Goldman Sachs)
Yang lebih mengkhawatirkan adalah lonjakan permintaan listrik ini akan berdampak langsung pada harga listrik. Riset menunjukkan bahwa operator pusat data besar sedang bernegosiasi dengan produsen listrik utama untuk mengamankan pasokan listrik jangka panjang yang stabil, terlepas dari permintaan jaringan listrik lainnya.
Persaingan ini mau tidak mau akan menaikkan harga listrik, dan biaya ini pada akhirnya akan dibebankan kepada pengguna produk dan layanan AI.
Akibatnya, para ahli menyarankan agar organisasi mempersiapkan diri terlebih dahulu menghadapi kenaikan biaya listrik dan berupaya menandatangani kontrak layanan pusat data jangka panjang dengan harga yang wajar.
Dampak lingkungannya juga mengkhawatirkan. Diperkirakan pada tahun 2030, emisi karbon dari pusat data dapat meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2022, sehingga menghadirkan tantangan baru bagi target pengurangan emisi global.
Menurut Goldman Sachs, "biaya sosial" dari peningkatan emisi karbon dari pusat data saja akan berjumlah $125 miliar hingga $140 miliar (nilai sekarang).
Gartner memperkirakan bahwa pada tahun 2027, permintaan listrik untuk menjalankan server yang dioptimalkan AI akan mencapai 500 terawatt-jam per tahun, 2,6 kali lipat dari level tahun 2023.
Dalam jangka pendek, untuk memenuhi permintaan listrik yang melonjak, beberapa pembangkit listrik bahan bakar fosil yang awalnya dijadwalkan untuk dinonaktifkan mungkin harus memperpanjang umur operasionalnya, yang selanjutnya memperburuk tekanan lingkungan.
Pusat data memerlukan daya listrik tanpa gangguan selama 24 jam, dan saat ini, mereka harus bergantung pada pembangkit listrik tenaga air, bahan bakar fosil, atau nuklir untuk menyediakan pasokan listrik yang stabil.
Meskipun sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari ramah lingkungan, tanpa mendukung sistem penyimpanan energi, mereka sulit diandalkan untuk memenuhi kebutuhan daya berkelanjutan pusat data.
Grafik | Perubahan Beban Pusat Data dan Konsumsi Energi Selama Sembilan Tahun Terakhir (Sumber: Goldman Sachs)
Untuk mengatasi tantangan ini, industri ini tengah menjajaki berbagai solusi. Beberapa perusahaan tengah meningkatkan investasi dalam energi terbarukan dan secara aktif mempromosikan komersialisasi teknologi tenaga nuklir baru.
Perusahaan teknologi juga tengah menjajaki metode inovatif untuk meningkatkan efisiensi energi. Dalam jangka panjang, pengembangan teknologi penyimpanan baterai baru atau teknologi energi bersih (seperti reaktor nuklir kecil) dapat memberikan solusi baru.
Perlu disebutkan bahwa teknologi AI sendiri dapat berkontribusi pada solusi dengan mempercepat inovasi di berbagai bidang seperti perawatan kesehatan, pertanian, dan pendidikan, serta meningkatkan efisiensi energi.
Terakhir, laporan penelitian kedua perusahaan tersebut menunjukkan bahwa bisnis harus sepenuhnya mempertimbangkan potensi risiko kekurangan daya saat merumuskan strategi pengembangan AI, menilai dampak kenaikan biaya daya di masa mendatang, dan secara aktif mencari solusi alternatif.
Solusi yang menjanjikan meliputi penggunaan teknologi komputasi tepi, mengadopsi model besar yang lebih kecil, dan memprioritaskan efisiensi komputasi saat mengembangkan aplikasi AI generatif.
Jelas, perkembangan teknologi AI sedang membentuk kembali lanskap energi global. Menyeimbangkan inovasi teknologi, keamanan energi, dan perlindungan lingkungan akan menjadi tantangan penting yang akan dihadapi oleh industri teknologi dan energi global di masa mendatang. (Artikel diterbitkan ulang dari DeepTech